Social Icons

Pages

Sabtu, 16 November 2013

Seni Tradisional Ronjhangan di Bondowoso Punah

Bondowoso - Kesenian tradisional menabuh "ronjhangan" atau lesung untuk menumbuk padi yang biasa dimainkan ibu-ibu pedesaan di Kecamatan Pujer, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur kini mulai punah.

"Mungkin sekitar tahun 2000 sudah tidak ada lagi permainan 'aghutta' atau menabuh 'ronjhangan' ini, padahal sebelum itu masih banyak," kata Cholwi, tokoh masyarakat di Desa Sukowono, Kecamatan Pujer, Bondowoso, Minggu.

Mantan Kepala Desa Sukowono yang pernah membina dan memimpin perkumpulan kesenian "ronjhangan" itu mengemukakan bahwa dulu Pujer merupakan pusat kesenian tersebut sehingga setiap desa memiliki perkumpulan.

"Pemainnya biasanya ibu-ibu sebanyak enam orang. Grup kami dulu sering diundang ke kecamatan kalau ada acara-acara, seperti HUT Kemerdekaan RI atau pada Bulan Bakti LKMD. Tapi seiring perkembangan zaman, kesenian itu sudah tidak ada lagi," katanya.

Saat ini, katanya, lesung berukuran panjang beserta alu miliknya sudah rapuh dan tinggal separuh karena sebagian sudah dimakan rayap. Ia sebetulnya merasa sayang dengan kondisi tersebut, tapi tidak bisa berbuat banyak.

"Apalagi sekarang orang sudah tidak ada lagi perempuan yang menumbuk padi karena di mana-mana sudah ada selepan atau mesin penggiling. Dulu menabuh 'ronjhangan' itu digunakan oleh ibu-ibu untuk mengusir rasa lelah setelah bekerja, khususnya menumbuk padi," katanya.

Awalnya, kesenian tersebut hanya merupakan musik instrumen, namun dalam perkembangan diikuti dengan lagu-lagu berbahasa Madura yang mengandung nilai-nilai luhur.

Setelah musik modern berkembang, khususnya dangdut dan pop, musik tersebut diikuti dengan lagu-lagu tersebut. Kesenian "ronjhangan" sata itu sudah tidak murni lagi karena juga dimeriahkan dengan hadirnya "jidur" atau semacam beduk.

Sementara mantan Kasi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso Hapi Tedjo Pramono mengungkapkan bahwa Pujer dulu merupakan daerah yang masih melestarikan kesenian "ronjhangan" tersebut.

"Dulu semua desa di Kecamatan Pujer memiliki grup kesenian tersebut. Kalau sekarang sudah punah, memang sangat disayangkan karena itu merupakan kekayaan budaya," kata pensiunan yang pernah bertugas di Pujer itu.

Ia mengakui bahwa keberadaan kesenian tersebut merupakan sarana hiburan bagi masyarakat yang lelah setelah bekerja, khususnya di kalangan ibu-ibu. (antara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text