Bondowoso - Kesenian tradisional menabuh "ronjhangan" atau lesung untuk
menumbuk padi yang biasa dimainkan ibu-ibu pedesaan di Kecamatan Pujer,
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur kini mulai punah.
"Mungkin sekitar tahun 2000 sudah tidak ada lagi permainan 'aghutta'
atau menabuh 'ronjhangan' ini, padahal sebelum itu masih banyak," kata
Cholwi, tokoh masyarakat di Desa Sukowono, Kecamatan Pujer, Bondowoso,
Minggu.
Mantan Kepala Desa Sukowono yang pernah membina
dan memimpin perkumpulan kesenian "ronjhangan" itu mengemukakan bahwa
dulu Pujer merupakan pusat kesenian tersebut sehingga setiap desa
memiliki perkumpulan.
"Pemainnya biasanya ibu-ibu
sebanyak enam orang. Grup kami dulu sering diundang ke kecamatan kalau
ada acara-acara, seperti HUT Kemerdekaan RI atau pada Bulan Bakti LKMD.
Tapi seiring perkembangan zaman, kesenian itu sudah tidak ada lagi,"
katanya.
Saat ini, katanya, lesung berukuran panjang
beserta alu miliknya sudah rapuh dan tinggal separuh karena sebagian
sudah dimakan rayap. Ia sebetulnya merasa sayang dengan kondisi
tersebut, tapi tidak bisa berbuat banyak.
"Apalagi
sekarang orang sudah tidak ada lagi perempuan yang menumbuk padi karena
di mana-mana sudah ada selepan atau mesin penggiling. Dulu menabuh
'ronjhangan' itu digunakan oleh ibu-ibu untuk mengusir rasa lelah
setelah bekerja, khususnya menumbuk padi," katanya.
Awalnya, kesenian tersebut hanya merupakan musik instrumen, namun dalam
perkembangan diikuti dengan lagu-lagu berbahasa Madura yang mengandung
nilai-nilai luhur.
Setelah musik modern berkembang,
khususnya dangdut dan pop, musik tersebut diikuti dengan lagu-lagu
tersebut. Kesenian "ronjhangan" sata itu sudah tidak murni lagi karena
juga dimeriahkan dengan hadirnya "jidur" atau semacam beduk.
Sementara mantan Kasi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten
Bondowoso Hapi Tedjo Pramono mengungkapkan bahwa Pujer dulu merupakan
daerah yang masih melestarikan kesenian "ronjhangan" tersebut.
"Dulu semua desa di Kecamatan Pujer memiliki grup kesenian
tersebut. Kalau sekarang sudah punah, memang sangat disayangkan karena
itu merupakan kekayaan budaya," kata pensiunan yang pernah bertugas di
Pujer itu.
Ia mengakui bahwa keberadaan kesenian
tersebut merupakan sarana hiburan bagi masyarakat yang lelah setelah
bekerja, khususnya di kalangan ibu-ibu. (antara)
Sabtu, 16 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar